or you can send manually to paypal account thunderkirin['@']gmail.com
* Bagian 6 *
Tiga tentara berjalan di jalan pada malam yang dingin.
“Haha mudah sekali. Meski sekarang kupikir-pikir, di kota ini ternyata ada wanita cantik ”. Kata salah satu tentara, menggemerincingkan tas dengan koin di dalamnya.
“Ya, meskipun tampaknya kita harus membunuhnya untuk membuatnya bungkam.”
“Ya, sepertinya reruntuhannya sudah dekat sini … hehe, setidaknya mari kita bersenang-senang sebelum kita membunuhnya.”
Mereka bertiga terus berbicara sambil melepaskan udara putih dari hawa dingin.
Saat mereka memasuki sebuah gang, seorang anak laki-laki tiba-tiba muncul di depan mereka.
“Selamat malam”. Kata anak laki-laki itu sambil tersenyum ramah.
Dia adalah anak laki-laki biasa, dengan mata hitam dan rambut hitam.
“Ah, kau yang barusan.”
“Aah, anak nakal yang kita pentalkan beberapa waktu yang lalu?”
“Haha, bagaimana kalau kita membunuhnya?”
Mereka berkata dan segera mereka mengacungkan pedang mereka tanpa ragu-ragu.
Tapi … anak laki-laki itu sudah pergi.
“Dia menghilang ?!”
“Aah ?! Kemana dia pergi?!”
“Yo, di belakang ?!”
Anak laki-laki itu tiba-tiba muncul di belakang mereka.
Dia berdiri, tidak melakukan apa pun.
“Yah, kurasa aku harus membunuh kalian. Sok iye gaya-gayaan seperti di kota tanpa hukum.”
Kata anak laki-laki itu, dengan “Sep, Sep”.
“Apa yang kau lakukan ?!”
“Hei, ada yang aneh dengan bocah ini.”
“Kenapa kau takut pada anak kecil?!”
Prajurit-prajurit itu terus menyerang.
Tapi bocah itu menghilang lagi.
“Lagi?!”
“Sederhananya.”
Suara anak laki-laki itu bergema di gang.
“Itu benar-benar konyol!”
Anak laki-laki itu muncul kembali di belakang mereka, tapi kali ini, tangannya benar-benar mengambil jantung salah satu prajurit.
Darah jatuh di tanah bersalju.
“A-Apa kau bercanda?! Dia menembus jantungnya dengan tangan kosong?”
“B-Bagaimana bisa?! Kita menghajarnya beberapa saat yang lalu dan— ”
Semuanya terjadi secara tertib, tetapi pada saat yang sama, secara berurutan.
Bocah itu melepaskan jantung berdarah itu lalu menusuk dada prajurit yang hendak kabur itu.
“Uhukk … t-tolong …”
Lalu dia meremas jantungnya.
Sekali lagi tanah dipenuhi genangan darah.
“O-oke, aku minta maaf! Aku minta maaf karena memukulmu! ” Kata tentara terakhir, tapi anak laki-laki itu mengacungkan lengannya yang berdarah ke arahnya.
“Di kota tanpa hukum yang terkuat adalah keadilan.”
“A-aah! T-Tolong—!”
Dan lagi, itu menembus dada tentara tersebut.
Semua darah yang tumpah mulai menyebar ke gang.
“Dengan kata lain, aku adalah keadilan.”
Cahaya bulan keluar dari tengah awan, menerangi tubuh tak berperasaan dari 3 tentara.
“Pertama benteng dan sekarang beberapa reruntuhan … ini semakin menarik.”
Anak laki-laki itu menjatuhkan jantung terakhir dan kemudian mengambil sekantong uang.
Lalu dia memalingkan wajahnya, melihat ke arah benteng di kejauhan.
You May Also Like
Before I Died, I Confessed to the Heroine, and She Actually Believed Me! (MTL)
Please wait....
Disqus comment box is being loaded